Legenda Suku Dayak Ngaju-Oot Danum tentang Perahu, Jukung atau Banama

     Seperti ragam budaya dan kepercayaan ras maupun suku di penjuru dunia ini. Suku Dayak di Pulau Borneo-Kalimantan yaitu Suku Dayak Ngaju-Oot Danum, memiliki keunikan terpisah dalam Tungau atau Mitos dari Perahu, Jukung atau Banama dalam Dayak Kuno (Bahasa Sangiang), hal ini mungkin saja sangat menarik bagi generasi kini untuk mendalaminya.

     Menurut Legenda Penciptaan Batang Garing, dituturkan bahwa pada suatu waktu Penguasa Alam Atas bernama Ranying Mahatara Langit bersama Jata Balawang Bulau, Penguasa Alam Bawah, sepakat untuk menciptakan dunia, dengan diawali Penciptaan Batang Garing. Batang, dahan, tangkai, daun, buah-buahan. Batang Garing ini semuanya terdiri dari berbagai jenis logam dan batu mulia. Jata kemudian melepaskan Burung Tingang Betina (Enggang Betina) dari sangkar emasnya. Burung itu kemudian terbang, lalu hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing. Bersama dengan itu Mahatara pemilihan Keris Emasnya, lalu menjelma menjadi Enggang Jantan yang disebut Tambarirang. Tambarirang ini pun hinggap dan menikmati buah-buahan Batang Garing.Kedua Burung Tinggang Jenis lain ini saling iri dan cemburu. Akhirnya terjadi perang suci. Pertempuran maha dahsyat ini menghancurkan Batang Garing dan kedua burung itu sendiri. Dari keping - keping kehancuran inilah yang tercipta kehidupan baru, alam semesta dan segala jenisnya.

    Dari kehancuran tadi tercipta pula pasangan insan. Sang wanita bernama “Putir Kahukum Bungking Garing” (Puteri dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama “Manyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang” (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang). Masing-masing insan ini memperoleh Perahu ( Banama Bahasa Sangiang ): untuk sang wanita, Perahu disebut Bahtera Emas (Banama Bulau), dan untuk sang pria Perahu disebut Bahtera Intan (Banama Hintan). Kedua insan ini kemudian menikah dan mendapatkan keturunan pertama berupa babi, ayam, kucing dan anjing. Keturunan kedua berwujud manusia, yaitu Raja Sangiang, Raja Sangen dan Raja Bunu. Melewati beberapa peristiwa, akhirnya ditentukan bahwa putra pertama, Raja Sangiang asal alam atas, tinggal bersama Ranying Mahatara Langit, dan merupakan asal usul segala Sangiang (Para Dewa). Putra kedua, Raja Sangen mendiami suatu daerah bernama Batu Nindan Tarung, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan Putra ketiga, Raja Bunu asal bumi, dan menjadi moyang pertama atau leluhur suku dayak (Ukur, 35‑37).

Miniatur Banama Nyahu (Museum Balanga Palangkaraya, Kalteng)


    Menurut Bajik R. Simpei dalam Tamparan Taluh Handiai (Awal Segala Kejadian), bahwa Raja Duhung Mama Tandang telah mengajarkan tentang tata cara Balian Tantulak Ambun Runtas Matei, perjalanan Banama Nyahu (menggunakan: Perahu Guntur) dan bermacam-macam upacara lainnya yang berhubungan dengan kematian . Raja Linga Rawing, Tempun Telun, Telun dan Hamparung, mereka mengajarkan tata cara pelaksanaan Hanteran dan skenario awal kejadian segala-galanya sampai pada tata cara Upacara Tiwah serta yang lainnya. Raja Garing Hatungku, Nyai Endas Bulau Lisan Tingang, Nyai Inai Mangut, mengajar dalam menyediakan ketupat, kambuangan, sanggar, palangka dan peralatan lainnya.

     Berbicara masalah kematian, Suku Dayak, terutama yang menganut Agama Kaharingan diharuskan melaksanakan Upacara Tiwah atau biasa disebut dengan Magah Salumpuk Liau Uluh Matei yaitu upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju paling akhir manusia, yang dikenal dengan beberapa nama antara lain Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang berada di langit ke tujuh.

    Untuk mengantar sampai kelangit ketujuh, kegiatan Tiwah membutuhkan beberapa perantara, seperti Rawing Tempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai Raja Malawung Bulau, sebagai para dewa yang dipercaya bertempat tinggal di langit ketiga.  

    Wahana transportasi atau kendaraan yang digunakan oleh Rawing Tempun Telun untuk mengantar roh yang meninggal hingga ke langit ketujuh, terdiri dari berbagai macam jenis seperti yang biasa disebut dengan Banama Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia dan Manuk Ambun. (https://itjen.kemdikbud.go.id/public/post/detail/cara-dayak-mengantar-leluhur-ke-langit .

Miniatur Banama Tingang (Museum Balanga Palangkaraya, Kalteng)


COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Riviergezicht_met_prauwen_en_huizen_Bandjermasin_TMnr_60018684

Dalam Tetek Tatum (Cerita Para Leluhur) menyatakan bahwa Suku Dayak sarana transportasinya untuk jarak dekat disebut jukung atau perahu, tetapi juga merantau ke negeri lain maka menggunakan Banama Tingang atau Perahu / Jukung yang berhiaskan kepala dan ekor burung Enggang. (Tingang Bahasa Indonesia: Enggang). www.kulturdayak. blogspot.com.

Jukung Hias / Banama Tingang dalam Festival Budaya Isen Mulang Palangkaraya Kalimantan Tengah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas tentang Seni Beladiri Pencak Silat Dayak Ngaju-Oot Danum di Pulau Borneo-Kalimantan

Tumbuhan Obat Suku Dayak Borneo Kalimantan

Dokumentasi Suku Dayak Ngaju dan Ot Danum Abad 18-19 M